HSTMurakata– Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, memastikan bahwa pengesahan Revisi UU Pilkada yang direncanakan batal dilaksanakan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pilkada akan tetap berlaku dalam proses pendaftaran calon pada 27 Agustus mendatang.
“Dengan batalnya pengesahan Revisi UU Pilkada pada 22 Agustus, maka yang berlaku saat pendaftaran adalah hasil putusan Judicial Review (JR) MK yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora,” ujar Dasco kepada awak media.
Dasco menekankan bahwa rapat paripurna DPR hanya bisa diadakan pada hari Kamis dan Selasa, sehingga mustahil untuk mengesahkan Revisi UU Pilkada pada pekan depan, tepat pada hari pendaftaran Pilkada. Hal ini berarti, perubahan UU tersebut tidak akan berpengaruh pada pemilihan kepala daerah tahun ini.
Rapat paripurna yang dijadwalkan pada Kamis pagi (22/8) untuk mengesahkan Revisi UU Pilkada terpaksa ditunda karena tidak memenuhi kuorum, baik secara fisik maupun daring.
Menanggapi spekulasi mengenai konsultasi dengan Presiden Joko Widodo sebelum pembatalan revisi ini, Dasco membantahnya. Menurutnya, tidak ada urgensi untuk berkonsultasi dengan Presiden terkait keputusan tersebut.
Gelombang protes pun bermunculan di berbagai daerah, menyusul rencana revisi UU Pilkada oleh DPR yang dianggap mengabaikan keputusan MK. Berbagai kelompok masyarakat, termasuk selebritas dan tokoh publik, turut menyuarakan keprihatinan mereka. Salah satu yang mencolok adalah aktor Reza Rahadian yang ikut berorasi di depan gedung DPR/MPR, Jakarta. Reza dengan tegas menyatakan bahwa dirinya tidak bisa berdiam diri melihat demokrasi dan konstitusi yang dipermainkan.
“Melihat bagaimana MK yang berusaha mengembalikan citranya, dan hari ini kita mendapat keputusan yang sangat kita hormati dari MK, masih juga berusaha untuk diabaikan,” ujar Reza di hadapan para pengunjuk rasa.
Selain demonstrasi di depan gedung DPR, sejumlah akademisi, cendekiawan, dan aktivis Reformasi 98 juga menggelar aksi di depan Mahkamah Konstitusi. Pernyataan sikap mereka dibacakan oleh pakar politik Universitas Negeri Jakarta, Ubeidilah Badrun.
“Demokrasi Indonesia mengalami kemunduran yang signifikan. Bahkan, sendi-sendi demokrasi telah terkoyak oleh kekuasaan. Ini bisa kita lihat dari sejumlah peristiwa empiris yang terjadi akhir-akhir ini, yang oleh beberapa ilmuwan disebut sebagai legalisme autokratik,” ujar Ubeidilah.
Ia menyebut beberapa contoh nyata, termasuk revisi UU KPK pada 2019, pengesahan UU Cipta Kerja pada 2020, dan putusan MK Nomor 90 Tahun 2023 yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2024.
Ubeidilah juga mengkritik adanya represi terhadap aktivis akademisi, buruh, dan lingkungan, serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tidak diselesaikan dengan baik.
Koalisi akademisi dan aktivis ini menegaskan bahwa MK harus berdiri tegak menjunjung tinggi demokrasi dan menyatakan kesiapan mereka untuk bergerak demi menyelamatkan demokrasi di Indonesia.
Sementara itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin menyatakan bahwa pihaknya telah menindaklanjuti putusan MK dengan mengirim surat kepada DPR untuk membahasnya lebih lanjut.
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah telah sepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada dalam rapat paripurna DPR guna disahkan menjadi undang-undang. Namun, langkah ini mendapatkan penolakan dari fraksi PDI Perjuangan.
Dalam pembahasan RUU Pilkada, dua poin krusial yang menjadi kontroversi adalah penyesuaian usia pencalonan kepala daerah sesuai putusan Mahkamah Agung (MA) dan ambang batas pencalonan.
Poin pertama, Pasal 7 UU Pilkada mengatur usia minimal calon gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota. Namun, MK dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa syarat usia harus dihitung sejak penetapan calon, bukan pelantikan.
Poin kedua, terkait ambang batas pencalonan, Baleg menetapkan bahwa partai atau koalisi tanpa kursi di DPRD harus memenuhi batas suara 6,5 hingga 10 persen untuk mencalonkan kandidat, sementara partai dengan kursi di DPRD harus mencapai 20 persen kursi atau 25 persen suara sah.