HSTMurakata – Pada tanggal 26 Agustus, dunia mengenang salah satu bencana alam paling dahsyat dalam sejarah, yaitu letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada tahun 1883. Letusan dahsyat ini tidak hanya menghancurkan pulau tersebut, tetapi juga merenggut lebih dari 36.000 nyawa.
Letusan Krakatau memicu serangkaian tsunami yang mengakibatkan puluhan ribu orang tenggelam. Gelombang raksasa setinggi 120 kaki yang terbentuk dari runtuhnya gunung berapi tersebut menyapu kapal uap Berouw sejauh hampir satu mil ke pedalaman Sumatra, menewaskan seluruh awak kapal. Bencana ini juga menghancurkan 165 desa di pesisir Jawa dan Sumatra, meninggalkan jejak kehancuran yang tak terlupakan.
Berdasarkan catatan sejarah, letusan pertama terjadi sekitar pukul 1 siang pada 26 Agustus 1883. Letusan ini mengirimkan awan gas dan puing-puing setinggi 15 mil ke udara di atas Perboewatan. Ini hanyalah awal dari serangkaian ledakan yang semakin kuat selama 21 jam berikutnya. Puncaknya terjadi pada pukul 10 pagi keesokan harinya, 27 Agustus, ketika letusan besar melontarkan abu hingga 50 mil ke udara. Suara ledakan ini terdengar hingga sejauh Perth, Australia, yang berjarak sekitar 2.800 mil.
Krakatau yang dahulu kokoh, sebagian besar pulau itu, termasuk Perboewatan dan Danan, tenggelam ke dalam laut, menciptakan kaldera dengan kedalaman sekitar 820 kaki di bawah permukaan laut.
Kini, lebih dari satu abad kemudian, Gunung Anak Krakatau, yang merupakan anak dari Krakatau, kembali menunjukkan aktivitasnya. Pada 25 Agustus 2024, dilaporkan terjadi gempa Tremor Menerus dengan amplitudo 1-10 mm, dominan pada 2 mm.
Menanggapi situasi ini, Jumono, Petugas Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau, mengimbau masyarakat, wisatawan, dan pendaki untuk tidak melakukan aktivitas di sekitar kawah Anak Krakatau. “Masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bahaya awan panas, lava, lontaran batu pijar, serta hujan abu lebat dalam radius 2 km dari kawah,” ujarnya.
Sejarah dahsyat Krakatau menjadi pengingat akan kekuatan alam yang luar biasa dan pentingnya kewaspadaan terhadap aktivitas vulkanik yang masih berlanjut hingga kini.